SEJARAH HAK ATAS TANAH PADA MASA KOLONIAL HINGGA SEKARANG
ramaruhama
19:37:00
1. Sejarah Hak
atas Tanah
Tujuan yang dikandung oleh hukum
tidak terlepas dari siapa yang membuat hukum tersebut. Jika sebelum Bangsa
Indonesia merdeka, sebagian besar Hukum agrarian dibuat oleh penjajah terutama
masa penjajahan Belanda, maka jelas tujuan dibuatnya adalah semata-mata untuk
kepentingan dan keuntungan penjajah. Hukum agrarian yang berlaku sebelum
diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah hukum agrarian yang
sebagian besar tersusun berdasarkan tujuan dan keinginan sendiri-sendiri dari
pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya. Sehingga ketentuan Hukum
agraria yang ada dan berlaku di Indonesia sebelum UUPA dihasilkan oleh bangsa
sendiri masih bersifat Hukum Agraria Kolonial yang sangat merugikan bagi
kepentingan bangsa Indonesia.[1] Dalam perjalanan sejarah pemerintah Hindia
Belanda di Indonesia terdapat dualism hukum yang menyangkut Hukum Agraria
Barat, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria Adat. Akhirnya sistem tanam paksa
yang merupakan pelaksanaan politik kolonial konservatif dihapuskan dan
dimulailah sistem liberal. Politik liberal adalah kebalikannya dari politik
konservatif dihapuskan dsn dimulailah sistem liberal. Prinsip politik liberal
adalah tidak adanya campur tangan pemerintah dibidang usaha, swasta diberikan
hak untuk mengembangkan usaha dan modalnya di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena semakin tajamnya kritik yang dialamatkan kepada Pemerintah Belanda
karena kebijakan politik agrarianya mendorong dikeluarkannya kebijakan kedua
yang disebut Agrarisch Wet (dimuat dalam Staatblad 1870 Nomor 55).[2] Terkait
dengan sejarah hak-hak atas tanah berdasarkan hal-hal diatas, maka hak-hak atas
tanah dapat dibedakan dalam 2 masa, yaitu masa kolonial (sebelum kemerdekaan)
dan setelah kemerdekaan.
A. Masa Kolonial (sebelum kemerdekaan)
Hak-Hak atas tanah yang ada pada masa colonial ini, tentunya tunduk pada Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata, diantara hak-hak yang diatur tersebut antara lain :
a). Hak Eigendom (hak milik)
Pasal 570 KUH
Perdata menyebutkan; Eigendom adalah hak untuk dengan bebas mempergunakan suatu
benda sepenuh penuhnya dan untuk menguasai seluas luasnya, asal saja tidak
bertentangan dengan undang undang atau peraturan peraturan umum yang ditetapkan
oleh instansi (kekuasaan) yang berhak menetapkannya, serta tidak menganggu hak
hak orang lain; semua itu kecuali pencabutan eigendom untuk ke pentingan umum
dengan pembayaran yang layak menurut peraturan peraturan umum.
b) Hak Erfpacht (hak usaha)
Hak erpacht,
adalah hak benda yang paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain.
Pada pasal 720 KUH Perdata disebutkan, bahwa suatu hak kebendaan untuk
menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain
dengan kewajiban member upeti tahunan. Disebutkan didalamnya pula bahwa
pemegang erfpacht mempunyai hak untuk mengusahakan dan merasakan hasil benda
itu dengan penuh. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperlua
pertanian. Di Jawa dan Madura Hal erfpacht diberikan untuk pertanian besar,
tempat tempat kediaman di pedalaman, perkebunan dan pertanian kecil. Sedang di
daerah luar Jawa hanya untuk pertanian besar, perkebunan dan pertanian kecil.
a) Hak Opstal (hak numpang karang)
Hak Opstal adalah
hak untuk mempunyai rumah, bangunan atau tanam tanaman di atas tanah orang
lain. Menurut Pasal 711 KUH Perdata disebutkan bahwa hak kebendaan untuk
mempunyai gedung-gedung, bangynan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan
orang lain.
Masa Setelah
Kemerdekaan
a) Sebelum UUPA
Hukum agrarian
sebelum adanya UUPA mempunyai sifat dualisme hukum, dikarenakan berlakunya
peraturan-peraturan dari hukum adat, disamping peraturan-peraturan dari dan
yang didasarkan atas hukum Barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah
antargolongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan
bangsa. Hal ini pun terjadi dalam sejarah pemberlakuan hak-hak atas tanah di
Indonesia. Sifat dualisme Hukum Agraria kolonial ini meliputi bidang-bidang
sebagai berikut :
1) Hukumnya
Pada saat yang
sama berlaku macam-macam Hukum Agraria, yang meliputi :
v Hukum Agraria Barat yang diatur dalam
Bugerlijk Wetboek, Agrarische Wet, dan Agrarische Besluit.
v Hukum Agrarian Adat yang diatur dalam Hukum
Adat daerah masing-masing
v Hukum Agraria Swapraja yang berlaku
didaerah-daerah Swapraja (seperti : Yogyakarta, Surakarta, dan Aceh)
v Hukum Agraria Antar-Golongan (Agrarische
Interdentielrecht) yaitu hukum yang digunakan untuk menyelesaikan
hubungan-hubungan hukum dalam bidang pertanahan antarorang-orang pribumi dengan
orang-orang bukan pribumi
2) Hak Atas Tanah
v Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum
Agraria Barat yang diatur dalam KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak erfpacht, hak postal, Recht
van gebruik (hak pakai), bruikleen (hak pinjam pakai)
v Hak-hak atas tanah yang tunduk pada Hukum
Agraria Adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya
tanah yayasan, tanah kas desa, tanah gogolan, tanah pangonan (penggembalaan),
tanah kuburan.
v Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan
Pemerintah Hindia Belanda, misalnya hak agrarische (tanah milik adat yang
ditundukkan diripada Hukum Agraria Barat), landerijen bezitrecht (tanah yang
subjek hukumnya terbatas pada orang-orang dari golongan Timur Asing/ Tionghoa)
v Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan
Pemerintah Swapraja, misalnya grant sultan (semacam hak milik adat yang
diberikan oleh Pemerintah Swapraja khusus bagi para kaula swapraja, didaftar di
kantor Pejabat Swapraja)
b) Setelah UUPA
Setelah lahirnya
(Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai dasar bagi Hukum Agraria di Indonesia,
maka problema dualism pun teratasi. Alhasil, Negara Indonesia dapat berupaya
semakin maksimal, guna mencapai apa yang menjadi tujuan Negara bagi kemakmuran
Rakyat.
Hak-hak atas tanah
diatur dalam UUPA pasal 2, pasal 4, pasal 16, pasal 20-46, pasal 50, pasal 53,
pasal 55,dan ketentuan-ketentuan tentang konversi. Sehingga lahirlah kodifikasi
hak-hak atas tanah yang lebih baik
Setelah adanya
UUPA, hak-hak atas tanah di Indonesia pun mutlak menjadi milik Negara
Indonesia. Dalam UUPA hak tanah mempunyai hierarki
[1] Muchsin, ,
Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif
Sejarah, (Bandung Refika Aditama, 2007), hlm. 9
[2] Muchsin, Ibid, hlm. 13